Pancarandari cinta kasih Tuhan, peri kemanusiaan, memberi perlindungan kepada orang yang kehujanan dan kepanasan, memberi makanan kepada orang yang kelaparan, memberi pakaian kepada orang yang telanjang, memberi tuntunan bagi yang kehilangan jalan. Kyai Sabuk Inten memberi watak seperti lautan. Luas tanpa tepi.
MAHESA JENAR akan mendesak pula dengan berbagai pertanyaan, tetapi diurungkannya ketika ia ingat bahwa di sini ada Kebo Kanigara dan Putut Karang Tunggal. Sehingga seandainya Panembahan Ismaya ingin melawannya dengan kekerasan, maka tidak pula ada perlunya untuk memanggilnya. Karena itu kemudian ia tidak berkata-kata lagi. Ia bahkan merasa malu bahwa seolah-olah di bukit kecil itu tak ada orang lain yang mampu menyelamatkannya selain daripada dirinya. Maka untuk beberapa saat suasana menjadi hening sepi. Desir angin di dedaunan menimbulkan suara lirih seperti dendang seorang ibu yang menidurkan anaknya. Maka kemudian kesepian itu dipecahkan oleh suara Panembahan Ismaya yang berkata, Anakmas, agaknya malam telah larut. Karena itu beristirahat di pondok lain. Baiklah Panembahan, jawab Mahesa Jenar. Kalau Anakmas keluar dari ruangan ini, Anakmas akan melihat rumah di sebelah barat. Di situlah Anakmas beristirahat, sambung Panembahan Ismaya pula. Di sana Anakmas akan beristirahat bersama dengan Kebo Kanigara. Setelah sekali lagi Mahesa Jenar mengiyakan, maka melangkahlah ia keluar ruangan itu. Tidak beberapa jauh di sebelah barat tampak sebuah rumah yang lebih kecil dari rumah itu. Dari dalamnya memancar pula cahaya api yang redup. Di dalam rumah itu ditemuinya Kebo Kanigara telah membaringkan dirinya. Ketika ia melihat Mahesa Jenar berkatalah ia, Mahesa Jenar, duduklah. Tutup pintu itu supaya tidak terlalu dingin. Dan dengarlah aku berceritera. Mahesa Jenar memandang wajah Kanigara yang tersenyum-senyum dan sudah bersih pula seperti wajahnya. Ia menjadi curiga. Tetapi ia melangkah juga menutup pintu dan kemudian duduk di sampingnya. Kau ingat pada waktu aku pertama-tama kaulihat? tanya Kebo Kanigara. Ya,jawab Mahesa Jenar singkat sambil mengangguk. Di mana muridmu sekarang? tanya Kanigara tiba-tiba. Di rumah sebelah bersama-sama dengan Karang Tunggal, jawabnya singkat. Bagus, suatu kebetulan. Karang Tunggal itu suka sekali berceritera. Pengetahuannya sangat luas, sebab ia sangat gemar menyepi dan merantau. Jarang-jarang sekali ia tinggal di rumah. Sehingga ibu angkatnya, Nyai Tingkir selalu marah kepadanya. Kanigara berhenti sebentar lalu meneruskan, Arya akan senang bersama dia. Lalu seterusnya mengenai urusanmu. Dengarlah. Kau lihat bahwa aku pada saat itu atas nama Mahesa Jenar melarikan seorang gadis? Mendengar pertanyaan itu hati Mahesa Jenar berdesir. Dengan kaku ia mengangguk mengiyakan. Gadis itu aku sembunyikan. Sejak malam itu aku belum pernah menemuinya. Aku takut kalau ia mengenal aku yang ternyata bukan Mahesa Jenar. Dan aku juga takut kalau tiba-tiba aku merasa bahwa akulah sebenarnya Mahesa Jenar itu. Kanigara meneruskan sambil tersenyum. Mahesa Jenarpun tersenyum pula. Tersenyum kaku. Kau harus menemuinya, sambung Kanigara pula. Mahesa Jenar mengangguk saja tanpa sesadarnya. Biarlah anakku mengantarkanmu nanti, kata Kanigara pula. Mahesa Jenar terperanjat. Sehingga ia pun bertanya, Siapakah Kakang Kanigara itu? Seorang anak perempuan, jawab Kanigara, Namanya Widuri. Widuri…? Endang Widuri? Jadi adakah anak itu putri Kakang Kanigara? tanya Mahesa Jenar pula. Ya, jawab Kanigara singkat. Aku belum pernah mendengar sebelumnya, kata Mahesa Jenar. Adakah anak itu dilahirkan di Demak? Aku meninggalkan Demak sejauh umur anak itu, jawab Kanigara. Sebenarnya aku tidak pernah menginginkan untuk meninggalkan kota itu. Tetapi keadaan memaksa aku berbuat demikian. Mahesa Jenar mendengarkan dengan penuh perhatian. Agaknya karena itulah maka Kebo Kanigara belasan tahun yang lalu lenyap dari pecaturan masyarakat Demak. Sesaat kemudian Kanigara meneruskan, Kemudian aku bawa istriku meninggalkan Demak. Anak itu lahir di perjalanan. Sedang beberapa tahun kemudian ibunya meninggal dunia. Untunglah bahwa aku bertemu dengan seseorang yang kemudian menerima kami tinggal bersama, Panembahan Ismaya. Terbayanglah di mata Kebo Kanigara, suatu masa yang pahit di dalam hidupnya. Kehilangan istri pada masa putrinya masih memerlukan kasih sayang seorang ibu. Bahkan beberapa tahun kemudian… kata Kanigara pula, Aku sudah harus mewakili menunggu bukit kecil ini kalau Panembahan Ismaya harus bepergian jauh untuk mencari obat-obatan dan menambah kewaskitaannya di hampir seluruh sudut negeri ini. Dan sejak itu pula tak pernah menampakkan diriku lagi di antara tata masyarakat Demak. Kanigara kemudian diam, Mahesa Jenar pun diam. Betapa hati mereka mengenyam kembali masa-masa yang silam itu. Masa-masa yang penuh dengan kesedihan bagi Kebo Kanigara. Tetapi tiba-tiba Kebo Kanigara berkata nyaring, He, aku telah membelok dari arah pembicaraan semula. Aku akan berceritera tentang seorang gadis yang aku larikan, bukan tentang aku. Mahesa Jenar terkejut juga mendengar arah percakapan yang tiba-tiba menikung tegak. Sehingga duduknya tergeser maju. Namun kemudian iapun tersenyum kecut. Tetapi bersamaan dengan itu denyut jantungnya bertambah cepat. Nah Mahesa Jenar… sambung Kanigara tiba-tiba, Kau akan dapat menemuinya bersama Widuri. Mahesa Jenar tidak menjawab, namun hatinya bergetar hebat. Tidak banyak yang harus aku pesankan kepadamu. Sebab aku tidak pernah berkata satu patah katapun. Karena itu anggaplah bahwa memang sebelum ini kau belum pernah bertemu dengannya. Kanigara meneruskan, Kecuali pada saat kau melarikan malam itu.
BeliNaga sasra Sabuk Inten kitab 1 2 Lengkap jilid. SH Mintardja. Harga Murah di Lapak Pustaka Mandiri. Telah Terjual Lebih Dari 3. Pengiriman cepat Pembayaran 100% aman. Belanja Sekarang Juga Hanya di Bukalapak.
DENGAN hati-hati Mahesa Jenar menyusur dinding goa mendekati arah suara itu. Dan karena ketajaman telinganya, akhirnya Mahesa Jenar menjadi semakin dekat. Tetapi agaknya orang itupun bergerak pula semakin lama semakin dalam dan melewati berpuluh-puluh cabang yang membingungkan. Namun Mahesa Jenar telah bertekad untuk mengikuti orang itu sampai ditangkapnya. Sebab ia yakin bahwa lukanya tidak akan mengijinkan orang itu bergerak leluasa. Beberapa langkah kemudian, tiba-tiba Mahesa Jenar tertegun. Ia sampai pada suatu ruangan yang agak lebar dan tidak terlalu gelap. Ketika ia melihat ke atas, tampaklah beberapa lobang-lobang yang tembus. Dari sanalah cahaya pagi jatuh menerangi ruangan itu seperti ruangan-ruangan yang sering dipergunakan bermain-main oleh para cantrik. Untuk beberapa lama, sekali lagi Mahesa Jenar kebingungan. Sekarang ia sama sekali tidak lagi mendengar suara apapun. Juga suara batuk-batuk orang yang dikejarnya itupun telah lenyap. Karena itulah maka Mahesa Jenar menjadi marah kembali. Dengan saksama ditelitinya dinding ruangan itu kalau-kalau ada yang mencurigakan. Tetapi selain pintu masuk yang dilewatinya tadi, sama sekali tak diketemukannya lubang yang lain. Dengan demikian ia menduga bahwa orang yang dicarinya masih berada di dalam ruangan itu pula. Maka sekali lagi Mahesa Jenar meneliti setiap relung ruang itu dengan lebih saksama lagi, sambil tetap mengawasi satu-satunya lobang masuk ke dalam ruang itu. Dan dugaannya ternyata benar. Ia terkejut sampai terlonjak ketika di belakangnya terdengar suara tertawa yang lunak perlahan. Cepat-cepat ia memutar diri dan bersiaga. Benarlah bahwa yang berdiri di hadapannya, di samping sebuah batu yang besar, adalah orang yang tak akan dapat melepaskan diri,” kata Mahesa Jenar. Orang itu tidak menjawab. Ia maju beberapa langkah mendekati Mahesa Jenar. Langkahnya tetap, tegap dan cekatan. Karena itu maka Mahesa Jenar terkejut karenanya. Kalau demikian, maka orang itu dapat melenyapkan luka-lukanya hanya dalam waktu yang sangat singkat. Namun demikian Mahesa Jenar masih belum yakin, bahwa orang itu telah terbebas sama sekali dari akibat pukulannya. Maka katanya sekali lagi, Quote“Katakan sekarang, di mana Arya Salaka.” Orang itu berhenti beberapa langkah di hadapannya dalam keremangan. Terdengarlah kembali ia tertawa perlahan. Kemudian jawabnya, “Kau telah mencoba menirukan aji Sasra Birawa. Tetapi sayang, jelek sekali.” Mendengar ejekan itu darah Mahesa Jenar menggelegak sampai ke kepala. Ia tidak dapat lagi mengendalikan perasaannya. Karena itu sekali lagi ia meloncat menyerang dengan sengitnya. Kembali terjadi sebuah pertarungan yang hebat. Dua kekuatan yang tangguh saling berjuang untuk mempertahankan nama masing-masing. Tetapi beberapa saat kemudian Mahesa Jenar menjadi gelisah kembali. Orang itu sama sekali telah terbebas dari luka-luka akibat pukulan yang luar biasa. Disamping itu kemarahan Mahesa Jenar semakin membakar hatinya. Dan apa yang dilakukannya kemudian adalah mengulangi apa yang pernah dilakukan. Dipusatkannya segala kekuatan batinnya, disilangkannya satu tangannya, sedang tangan yang lain diangkatnya tinggi-tinggi, sambil menekuk satu kaki ke depan, ia menggeram hebat siap mengayunkan ajinya Sasra Birawa. Sesaat sebelum tangannya menghantam lawannya, dadanya terasa berdesir hebat ketika ia dalam sekejap melihat lawannya, yang mengaku bernama Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh itu, ternyata juga mengangkat satu kaki, menyilangkan tangan kirinya di muka dada, serta mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Meskipun demikian Mahesa Jenar sudah tidak sempat lagi membuat bermacam-macam pertimbangan. Apa yang dilakukannya kemudian adalah, dengan garangnya ia meloncat dan menghantam lawannya dengan sepenuh kekuatan dialasi dengan ajinya Sasra Birawa yang dahsyat. Tiba-tiba pada saat itu pula ia melihat lawannya itupun berbuat demikian pula sehingga terjadilah benturan yang maha dahsyat. Mahesa Jenar merasakan seolah-olah berpuluh-puluh petir meledak bersama-sama di hadapan wajahnya. Udara yang panas yang jauh lebih panas dari api, terasa memercik membakar seluruh tubuhnya. Setelah itu, pemandangannya menjadi kuning berputar-putar, semakin lama semakin gelap. Akhirnya tanah tempatnya berpijak seolah-olah berguguran jatuh ke dalam jurang yang dalamnya tak terhingga. Sesudah itu tak satupun yang diingatnya. Ia tidak tahu, berapa lama ia pingsan. Yang mula-mula terasa olehnya adalah tetesan-tetesan air yang membasahi wajahnya. Perlahan-lahan Mahesa Jenar mencoba membuka matanya. Mula-mula pemandangan di sekitarnya masih tampak hitam melulu. Tetapi lambat laun, tampaklah samar-samar cahaya matahari yang menembus lubang-lubang diatas ruangan itu, semakin lama semakin terang. Sejalan dengan perkembangan kesadarannya. Kemudian, ketika pikirannya sudah semakin terang, terasalah bahwa seluruh tubuhnya basah kuyup. Agaknya seseorang telah menyiramkan air untuk membangunkannya. Perlahan-lahan Mahesa Jenar berusaha untuk mengingat-ingat apa yang terjadi. Ketika segala sesuatunya menjadi semakin jelas, maka segera ia berusaha untuk bangkit. Tetapi agaknya tubuhnya serasa dicopoti segala tulang-tulangnya. Karena itu ketika ia mencoba mengangkat kepalanya, kembali ia jatuh terbaring. Darahnya serasa menguap ketika ia mendengar di sampingnya suara tertawa lunak perlahan. Segera ia mengenal, siapakah orang itu. Namun bagaimanapun juga ia sama sekali tidak mampu berbuat SANAK…” Terdengar orang itu berkata. “Jangan mencoba-coba menjadi rangkapan Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh. Meskipun tiruan itu sudah kau lakukan dengan saksama, namun kalau kebetulan kau bertemu dengan orangnya, seperti sekarang ini, segera akan dapat dikenal kepalsuanmu. Meskipun demikian aku menjadi heran pula bahwa apa yang kau lakukan sudah hampir dapat menyamai apa yang aku lakukan. Dan agaknya kau telah mencoba pula mendalami ilmu Sasra Birawa. Aku tidak tahu dari mana kau pelajari ilmu itu, namun dalam beberapa hal, telah benar-benar mirip dengan Sasra Birawa yang sebenarnya.” Mendengar ucapan-ucapan itu telinga Mahesa Jenar rasanya menjadi terbakar. Ia menggeram beberapa kali, namun ia sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu. Ia hanya dapat menggerakkan kepalanya dan melihat orang yang mengaku bernama Mahesa Jenar itu duduk dengan enaknya di atas sebuah batu padas, disampingnya. Beberapa saat kemudian orang itu kembali berkata, “QuoteAku tidak sabar menunggui orang tidur terlalu lama, karena itu aku menyirammu dengan air. Ternyata kau terbangun karenanya.” Mahesa Jenar ingin berteriak memaki-maki. Namun suaranya tersumbat di kerongkongan. Yang terdengar hanyalah sebuah desis kemarahan. “Bagaimanapun juga, aku hormati ketebalan tekadmu”, sambung orang itu, “Dalam keadaan yang demikian kau masih tetap pada pendirianmu. Karena itulah aku belum membunuhmu. Sebab aku ingin mengetahui siapakah orang yang telah berkeras hati mengaku bernama Mahesa Jenar.” Sekali lagi Mahesa Jenar menggeram. Perlahan-lahan, ia mencoba menjawab, “Jangan kau takut-takuti aku dengan kematian, sebab kematian bukanlah suatu hal yang perlu ditakuti.” “Bagus…!” Tiba-tiba orang itu meloncat berdiri. “Kau sendiri yang mengatakan. Jangan salahkan aku kalau aku membunuhmu sekarang.” Mahesa Jenar bukan seorang penakut. Apapun yang akan terjadi atasnya bukanlah suatu hal yang perlu dicemaskan. Meskipun demikian ia menjadi gelisah ketika teringat oleh Arya Salaka. Ia tidak tahu di mana anak itu sekarang berada. Apakah ia masih hidup ataukah sudah mati di dalam relung dan lekuk-lekuk goa yang membingungkan itu. Karena perasaan yang demikian itulah tiba-tiba tanpa disengajanya ia berkata, Quote"Kau bunuh aku atau tidak, itu bukanlah urusanku, tetapi itu adalah urusanmu. Namun demikian katakan kepadaku apakah Arya Salaka masih hidup atau sudah kau bunuh pula?” Orang itu tertegun sejenak. Tetapi hanya sejenak. Kemudian terdengar ia tertawa. “Jangan kau persulit dirimu, dan jangan kau kotori jalan kematianmu dengan dongengan-dongengan yang kisruh itu. Ataukah barangkali kau mengharap aku mengampuni kau untuk membantuku mencari muridku itu?” “Cukup!” tiba-tiba Mahesa Jenar berteriak nyaring. Seluruh sisa kekuatannya telah mendorongnya berbuat demikian karena kemarahan yang tak tertahankan. “Kau mau membunuh, bunuhlah. Jangan membual.” Sekali lagi terdengar suara tertawa. Lunak dan hanya perlahan-lahan. Sesudah itu, orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu melangkah justru menjauhi Mahesa Jenar. Katanya kemudian setelah ia sampai ke mulut ruang itu, Quote“Aku tidak mau mengotori tanganku dengan membunuh orang semacam kau. Biarlah alam membunuhmu. Kau tidak akan dapat keluar dari ruangan ini sampai ajalmu tiba.” Setelah itu orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu segera meloncat keluar dan terdengarlah suara berguguran. Beberapa batu besar jatuh tertimbun menutupi lubang ruangan itu. Bersamaan dengan itu, berguguran pulalah rasanya isi dada Mahesa Jenar. Ia ditinggalkan dalam ruangan tertutup dalam keadaan yang demikian. Bukan main. Suatu penghinaan yang tiada taranya. Sebagai seorang laki-laki ia lebih senang hancur di dalam suatu pertempuran daripada dibiarkan mati kelaparan di dalam sebuah goa. Karena itulah dirasanya seluruh tubuhnya mendidih. Seluruh isi rongga dadanya menggelegak seperti akan meledak. Terasa betapa darahnya mengalir cepat dua kali lipat. Tetapi karena itu pulalah terasa kekuatannya timbul kembali oleh dorongan perasaan yang meluap-luap. Dengan demikian maka sedikit demi sedikit Mahesa Jenar mulai dapat menggerakkan tubuhnya, sehingga beberapa saat kemudian ia telah mampu untuk mengangkat tubuhnya dan duduk tegak. Matahari yang telah mencapai titik tengah, sinarnya langsung tegak lurus menembus lubang-lubang di atas ruangan itu dan membuat lingkaran-lingkaran di lantai. Udara yang lembab di dalam goa itu rasa-rasanya jadi menguap oleh panas matahari. Mahesa Jenar kemudian menjadi gelisah karenanya. Ia tidak mau menyerah pada keadaan. Ia tidak mau membiarkan dirinya mati kelaparan di dalam goa itu tanpa perlawanan. Maka dengan segenap tenaga yang ada ia pun berdiri dan dengan terhuyung-huyung berjalan sekeliling ruangan itu berpegangan dinding. Dua tiga langkah ia masih terus beristirahat, sebab dadanya masih terasa nyeri, disamping pertanyaan yang selalu memukul-mukul kepalanya. Siapakah gerangan orang yang telah mengaku bernama Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh, yang mampu mempergunakan ilmu Sasra Birawa, dan justru lebih hebat dari ilmunya. Menurut ceritera almarhum gurunya, maka Ki Ageng Pengging Sepuh itu tidak mempunyai murid lain kecuali dirinya dan Ki Ageng Pengging yang bernama Kebo Kenanga, almarhum, putera gurunya sendiri. Tiba-tiba sekarang ia bertemu dengan seseorang yang memiliki ilmu gurunya itu dengan sempurna. Bahkan orang itu telah mengaku bernama Mahesa Jenar dan mempunyai seorang murid yang bernama Arya Salaka. Seolah-olah orang itu ingin menyindir akan ketidakmampuannya sebagai seorang murid dari perguruan Pengging. Nagasasradan Sabuk Inten Jilid 12 dari 29 karya SH hlm; 966.1 Kb) Read more. Sariyanti Palembang. Follow. Principle at Athalia Entrepreneurs Professional. Nagasasra dan Sabuk Inten Jilid 12 dari 29 karya SH Mintardja.pdf (95 hlm; 966.1 Kb) Read more. Art & Photos. Hasmi misalnya, mengaku bahwa inspirasi komiknya yang pertama
NagaSasra & Sabuk Inten. NAGA SASRA & SABUK INTEN. Kisah ini merupakan karangan dari S.H Mintardja. Disini TS sudah mendapatkan ijin untuk sekedar membagikan dan mempermudahkan pembaca untuk menikmati kisah ini dalam bentuk digital Spoiler for JILID 10: Part 203 Part 204 Part 205 Part 206 Part 207 Part 208 Part 209 Part 210 Part 211 Part
Jilid10 "Mereka menuju kemari" desis Gajah Sora. "Ya, mereka menuju kemari" ulang Mahesa Jenar. "Lalu bagaimanakah sebaiknya sikap kita?" Gajah Sora ingin mendapat pertimbangan. Dalam kondisi tubuh mereka yang hampir remuk itu, sudah pasti bahwa mereka tak akan cepat berbuat apa-apa seandainya yang datang itu akan membahayakan.
NAGASASRA dan SABUK INTEN JILID 10=====Subscribe SosialInstagram https://instagram.com/kang
mCfmgO.
  • q403aig4ow.pages.dev/356
  • q403aig4ow.pages.dev/170
  • q403aig4ow.pages.dev/365
  • q403aig4ow.pages.dev/158
  • q403aig4ow.pages.dev/124
  • q403aig4ow.pages.dev/331
  • q403aig4ow.pages.dev/170
  • q403aig4ow.pages.dev/15
  • q403aig4ow.pages.dev/185
  • naga sasra sabuk inten jilid 10